SEMUA KARENA CURAH HUJAN YANG TERLALU TINGGI

 

http://pixabay.com/

Oleh: Nur Sholikhah

Sudah hampir dua bulan tahun baru terlewati bersama musim hujan yang menjatuhkan kegelisahan karena negeriku di awal tahun sudah terendam. Berita banjir mewarnai suasana di beberapa daerah, air melimpah ruah hingga tak ada tempat lagi untuk ia bisa kembali terserap ke tanah. Air terus mencari jalan keluar namun yang ia temui malah keserakahan manusia-manusia yang tak memberikannya jalan.

Tanah diselimuti aspal, semen, dan kesewenangan. Tanah menjadi susah menghirup udara segar. Tanah menjadi sulit berjumpa kawan lamanya yang kini sering disalahkan karena menggenang di mana-mana. Air dan tanah, ah betapa malang nasibmu di kota. Mereka merampas kebebasanmu, mencengkram arah hidupmu demi kepentingan dan kesenangan hati yang katanya tak bertepi. Hingga kini kalian kesulitan mencari tempat untuk kembali, untuk pulang menemui kodratmu. 

Musim hujan belum usai di akhir bulan ini dan negeriku masih saja berduka dengan masalah-masalah yang belum hilang asapnya. Air yang menggenang menjadi topik yang dibahas tiada habisnya. Kota menjadi sangat ramai hingga para pemegang kuasa ingin segera melompat tinggi dari atas kursi. Sementara yang di bawah sibuk mempertanyakan siapa yang patut disalahkan tanpa introspeksi diri. 

Air, kedatanganmu kini menakutkan para penduduk kota. Mereka yang tidak siap dengan genangan mau tidak mau harus menerima kehadiranmu. Tak usah khawatir, kau tak kan pernah bisa disalahkan. Mereka yang salah, siapa? Para manusia. Kau sudah menjalankan takdir sebagaimana mestinya. Kau adalah rahmat yang diturunkan Tuhan dengan rupa rintik-rintik hujan. Justru kaulah sesungguhnya yang dirugikan karena tempatmu kembali digusur oleh mereka yang merasa punya wewenang tanpa memikirkan akibat dari perbuatan.

Oh aku lupa, kau tidak hanya disalahkan di kota melainkan juga di pelosok-pelosok desa. Hutan-hutan beralih fungsi menjadi pertambangan, juga industri kelapa sawit yang menggiurkan. Para pelaku sibuk membela diri, merasa bahwa perbuatannya tidak membuat rugi. Ijin sudah dikantongi, pajak sudah dilunasi, dan mereka bilang semua ini karena curah hujan yang terlalu tinggi. 

Aku hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan berita yang berseliweran di beranda sosial media. Banjir, banjir, tanah longsor. Rumah-rumah yang terendam air berwarna coklat, rumah-rumah yang tertimbun tanah pekat. Para manusia yang mencari tempat untuk mengungsi, beristirahat melepas penat dan berharap esok langit cerah kembali. Semoga semua segera pulih, dan orang-orang yang merasa paling benar sendiri tersadarkan atau setidaknya kembali menggunakan akal juga hati nurani.


Pondok Pesantren Darun-Nun Malang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS DESKRIPTIF PONDOK PESANTREN DARUN NUN

KISAH HARU SANG DOKTER

BIOGRAFI PENGARANG KITAB QAMUS AL MUHITH