MAU MATI, TAPI SUSAH (BAGIAN II)



Oleh: Moh. Rizal Khaqul Y

        Baru sampai di halaman rumah aku langsung tancap gas, putar balik menuju rel yang barusan aku lewatin. Sampai di sana, kuparkir motor dan lari menuju rel yng dilewatin kereta tadi, ya tentunya aku cari tempat yang agak jauh dari keramaian, sampai di lokasi aku berbaring, tidur melintang di atas rel.

        Setengah jam aku tunggu, belum ada kereta yang lewat, malah bukan kereta yang kudapati tapi keringat membasahi sekujur badan, karena saat itu pukul 12:43 siang, memang waktu terik-teriknya matahari. Kurang lebih 40 menit aku berbaring, tiba-tiba ada orang dari kejauhan memanggil,

“Woy woy woy, mas sini!” 

gak ada pilihan sih emang, karena lama kutunggu kereta gak kunjung melintas, kuhampiri orang tersebut. 

“Ada apa mas?, mau terapi gatel atau mau cari vitamin D?” sambil menyodorkan air mineral dingin

“Enggak pak, makasih pak ya”

“Kalo mau bunuh diri jangan di sini mas, lagian masnya kalau mau bunuh diri salah rel mas, seharusnya rel yang satunya bukan yang ini”

“Teeeeeeeeeet, gluduk gluduk gluduk... .” Kereta api melaju, melewati rel satunya

“Nah itu kan bener, rel yang satunya tadi mas” sembari menunjuk kearah kereta

“Walah, memang untuk yang rel tempat saya berbaring tadi kapan ada kereta lewat lagi pak?”

“Kalo itu tadi mas, sekitar satu jam yang lalu  jam 11:40-an lah kalo gak salah, itu yang terakhir mas”

“Kalo rel yang satunya pak?”

“Iya itu tadi, barusa lewat”

“Owalah, iya deh pak makasih”

        Dari tempat barusan, aku memutuskan untuk pulang kerumah, ya karena capek tidur hampir satu jam-an di atas rel, panas, keringetan sebadan pula.

        Sampai di titik ini keinginanku untuk bunuh diri sudah mulai pudar, sampai terbersit di pikiran kalau memang sekali lagi gagal untuk bunuh diri, ya berarti memang belum ditardirkan untuk mati.

         Malam harinya, selepas shalat isaya aku duduk di teras memikirkan cara bunuh diri yang paling pas, sampai lima jam pikiranku mentok belum ada kepikiran cara-cara lain. Tapi, tiba-tiba aku kepikiran ide yang mungkin agak sedikit ekstrim, caranya yaitu pura-pura jadi jambret di pasar dan berharap dimasukin ke pejara, sampai di penjara ngaku kalau ngelakuin pencabulan, dan selesai, minimal kalo gak langsung mati ya namanya di penjara lama-lama pasti mati juga kalau begitu.

        Esok harinya, aku tiba di pasar dan bersiap mengincar Ibu-Ibu yang sendirian. Aku lihat ada mbak-mbak sendirian menenteeng dompet di tangan kanannya. Tanpa berpikir panjang, aku lari lalu menarik dompet dari tangannya dan lari agak pelan dengan harapan supaya tertangkap orang-orang di pasar. Dan akhirnya rencanaku berhasil, aku dibawa ke pos pasar dan diinterogasi, tapi yang aku tak tahu ternyata yangku jambret adalah dompet teman sekolahku waktu SMA, dari situ kami sama-sama kaget.

“Lhoh, kamu Roy, kenapa ada apa kamu?” tanya dia, sambil masih syok.

Enggak Fen, gak ada apa-apa”

“Heh kamu kalo ada apa-apa cerita, sudah pak ini teman saya, aman kok aman, bisa Bapak-Bapak tinggal” (sambil mempersilahkan orang-orang pergi)

“Eh kamu ada apa Roy, apa kamu?”

“Cabul Fen, eh” jawabku spontan, karena masih kaget.

“Apa?, ayo cerita ke aku semua” 

       Dari situ aku ceitakan semua, sampai-sampai membuatku melakukan hal-hal tadi, dari mulai Ibuku meninggal dan beberapa  percobaan bunuh diriku. Hingga aku menyimpulkan bahwa aku memang belum ditakdirkan untuk mati, di sisi lain aku berpikir bahwa bunuh diri itu sulit juga ternyata, diperlukan skill khusus serta persiapan dan perencaaan yang matang bagiku, dan percobaan bunuh diriku selama dua hari tadi memang cukup menyadarkan ku bahwa hidup itu dipenuhi pilihan, dan ketika kita sudah memilih belum berarti pilihat itu tepat dan baik untuk kita.

“Kriing kriiiing kriiiiing” alarm handphone menyadarkanku lagi dari lamunan, kulihat layar handphone sudah menunjukan pukul 04:00, seperampat jam lagi waktu subuh dan kau belum mempersiapkan untuk makan sahur. 

“Waduh durung masak rek, gara-gara mikirnon iku maneh” ya memang sering sekali aku ngelamun dan kepikiran hal  yang sama seperti barusan. 

“Bismillahirrahmannirrashim... .” suara spiker masjid, menandakan akan segera adzan subuh.

“Waduuuh, wes masak mi maneh, mi meneh”


Sekian


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS DESKRIPTIF PONDOK PESANTREN DARUN NUN

KISAH HARU SANG DOKTER

BIOGRAFI PENGARANG KITAB QAMUS AL MUHITH