MAU MATI, TAPI SUSAH

 


Oleh: Moh. Rizal Khaqul Yaqin

        “Saur saur saur, tok tok tok, sauuur”  suara pemuda desa memecah kesunyian malam pertama bulan puasa, aku terbangun, mengumpulkan nyawa dan sedikit semangat untuk mempersiapkan makan sahur, sembari menengok ke arah dinding kamar melihat jam yang menunjukkan pukul  03:00. 
    Aku duduk di ujung ranjang, ngelamun, mengingat bulan puasa tahun lalu ketika rumah sempit yang kutinggali masih menjadi tempat favoritku untuk pulang, saat itu Ibuku masih menemani hari-hari di bulan Ramadhan, menemaniku sahur dan berbuka puasa. Maklum memang, pekerjaan yang ku lakoni memungkinkan libur untuk pulang kerumah hanya di bulan puasa saja, jadi yaa bulan puasa itu momen yang kutunggu-tunggu, selain melepas penat dari rutinitas kerja yang sangat padat, juga melepas rindu untuk Ibu yang tak hanya menjadi sosok Ibu saja, melainkan juga ayah, kakak, teman ngobrol dan curhat.
        Tak pernah terfikir di benakku, bulan puasa tahun lalu menjadi momen-momen terakhir bersama Ibu, tak ada firasat atau tanda-tanda yang ku rasakan, seolah-olah terjadi tanpa diprediksi, melanda tanpa diduga. Bahkan di hari pertama puasa, semuanya terjadi seperti biasa, paginya kami sahur bersama lalu dilanjutkan shalat subuh berjamaah dan tadarus bersama, siangnya aku melanjutkan beberapa tanggungan kerja dan Ibu berkerja di kebun tetangga menjadi buruh matun (membersihkan rumput liar di kebun sayur/tanaman), yaa walaupun sudah ku larang sih, namanya orang tua pasti gak mau diem aja di  rumah. Sorenya kami istirahat dan menyiapkan hidangan berbuka, dan seperti itu seterusnya. 
        Di malam ke-21 Ramadhan, tak seperti biasanya aku bangun sendiri dan tak ada pikiran aneh apa-apa  di benak, lagi pula hanya dingin yang kurasakan karna memang Kota Malang memasuki musim saat itu. Aku ambil wudhu, dan langsung menuju kamar untuk shalat tahajud, dan ternyata di kamar sudah ada Ibu sedang shalat dengan posisi sujud, karna ruangannya sempit aku duduk sembari menunggu giliran untuk shalat. Sedikit aneh kurasa, karena sudah 3 menit Ibuku masih saja sujud, tanpa berpindah posisi atau bergerak sekalipun. Ku goyangkan badannya sembari Ku panggil,
Buk Ibuk, tangi buk, tilem ta” ku ulangi berkali-kali sampai badan Ibu ku rubuh dari sujudnya, kulihat matanya terpejam dan kuperiksan nadi dan nafasnya sudah berhenti. Sontak hal itu membuatku syok, panik bukan kepalang, kupeluk Ibu sambil menangis tersedu-sedu. 

        “Kriiing kriiiing kriiiiing” alarm handphone menyadarkanku dari lamunan, kuihat layar handphone menunjukan pukul 03:33. 
Kombinasi angka 3 yang kulihat barusan,  kembali mengingatkan ku kejadian selepas Ibuku meninggal. Kejadian saat Ibuku meninggal sangat teramat memukul batin, karena sedari kecil hanya beliulah yang menjadi teman dan seseorang yang sangat Ku percaya, ditambah lagi keluarga besar dari pihak Bapak kurang suka dengan keberadaan Ibu termasuk aku, karena memang pernikahan kedua orangtuaku tidak diharapkan keluarga besar. Jadi tidak ada seorang pun saudara, sepupu atau keponakan sekalipun yang akrab bahkan kukenal, mungkin karena mereka sudah diminta menjaga jarak dengan kami, ini juga diperparah  saat momen Bapak meninggal pas tujuh hari kelahiranku. 
        Aku bekerja di luar pulau sebagai staf logistik perusahaan tambang, yang mengharuskan bekerja dua minggu nonstop dengan libur hanya dua hari dan berlanjut dua minggu seterusnya. Sehingga waktu libur Ramadhan benar-benar aku tunggu.
Setelah Ibu meninggal, Aku sering menyendiri, bengong dan hampir depresi, karena aku kehilangan sosok yang selalu menemani  dalam kesendirian,  dan seseorang itu yang selalu tahu keadaanku hanyalah Ibu. Sempat terlintas dipikiran, karena sudah tiada lagi yang menemani dalam kesendiri,
“Aku ini hidup sendiri sekarang, untuk apa aku terus hidup” gumamku, kukerutkan dahi sambil kupegangi kepala yang sedari tadi terasa cenat-cenut, dan kalimat-kalimat itu selalu memenuhi isi pikiranku, 
“Sepertinya aku juga harus ikut, menyusul Ibu”
 sampai sependek itu caraku berpikir dan melihat keadaan. 
“Oke, aku akan bunuh diri” ya sebenernya kalau dipikir-pikir agak konyol juga sih, kenapa harus bunuh diri?, masih ada kan cara lain misal, ngerampok bank atau jambret Ibu-Ibu dipasar atau bisa juga mukulin tukang parkir pasar gitu, sampai dimasukin ke penjara lalu sama napi-napi lain kalo ditanya soal kasus, 
“Kasus apa kamu???” (tanya sambil bentak-bentak)
“Cabul om” pasti bakal mati dah kalo gitu dan gak usah pakek acara bunuh diri segala, ya maklum katanya pelaku pemerkosaan, cabul atau yang lain sejenisnya kalo masuk penjara pasti pulangnya tinggal nama dong, katanya sih.

        Angka 3 tadi ngingetin aku sama tiga kali cara bunuh diri yang pernah aku lakuin, yang kesemuanya gagal bin total. Oke, cara yang pertama adalah dengan gantung diri, ya mungkin karena referensiku selama ini dari media-media sosial atau media massa nasional kalo bunih diri pasti itu dengan gantung, dari situ aku mulai serius untuk mempersiapkan proses pergantungan diri ini.
        Pertama, yang kupikirkan adalah tempat, rumahku sangat gak mungkin aku pakai, karena sangat berdempetan dengan rumah tetangga, apalagi di depan rumah banyak orang lalu lalang, belum lagi juga tetangga sering tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Lalu opsi kedua adalah hutan, tempat ini yang kupikir gak mungkin juga aku pakai buat gantung diri, ya gak mau lah kalo sudah mati, mayatnya busuk gelantungan di atas pohon gak ada yang ngurus. Walaupun niatnya bunuh diri, tapi tentunya gak mau juga kalo mati gak ada yang ngurusin sampek gak dikubur. Sampai akhirnya kepikiran kalo di belakang rumah itu ada bekas kandang ayam milik Bapak, yang sudah lama gak kepakek dan keurus, ya pastinya gak mungkin dong ada orang tiba-tiba ke kandang kosong, dan juga kalaupun ada orang kesana itu mungkin orang yang mempir ke rumah dan lagi cari akun tapi  gak ada, ya positive thinking saja kalo di situ, nanti saat sudah mati pasti ada yang ngurus. Oke deh tempat aman.
        Kedua adalah peralatan, pastinya untuk berjuang mau bunuh diri itu tetep butuh alat dong. Oke aku catat ada beberapa peralatan yang perlu disiapin, di antaranya adalah tangga, tempat ngikat gantungan dan tali. Kesemuanya sudah ready kecuali tali, karena memang yang susah adalah tali. 
Oke, suatu hari aku dateng ke toko bangunan untuk beli tali,
“Pak, saya mau beli tali” (sambil tergesa-gesa)
“Tali apa dek?” sambil mencatat nota pembelian, melayani para penjual lain,
“Waduh tali apa ya”
“Iya dek, ini soalnya tali itu banyak, ada yang diameternya 3 mili, ada yang lebih besar lagi, ada yang bahannya dari nilon atau juga dari serat kayu, ini juga ada yang biasa untuk ngiket rumput/kayu bakar atau ada juga yang untuk ngiket kambing”
“Waduh kambing, emang saya kambing” (bergumam). Pandanganku teralihkan kepintu keluar, berpikir dan sedikit bingung,  
“Apa mas ?” saat itu aku bingung karena ternyata untuk persiapan bunuh diri perlu juga ada skill atau pengetahuan tentang memilih tali yang tepat, ya gak mungkin dong pas mau beli langsung ngomong “Pak, saya mau beli tali yang kuat buat bunuh diri”, bisa malu konyol aku disitu. Sampai akhirnya aku pustuskan buat gak jadi beli tali dan pulang,
“Maaf pak gak jadi beli tali" baru di luar pintu toko aku kepikiran,
“Waduh, susah juga ya gantung diri pakek tali, mikir tali aja sudah bingung, lagian kandang ayam di belakang rumah kayaknya udah rapuh, gak kuat juga buat tempat gantungan” dari situ aku pikir kalo gantung diri itu udah gak mungkin.
        Di perjalanan kerumah aku melewati perlintasan palang pintu kereta api, aku lihat kereta melaju sangat kencang dan membawa banyak gerbong. Setelah palang pintunya kebuka aku langsung ngelanjutin perjalanan, dan sesaat mau sampai rumah aku kepikiran lagi,
“Ehh iya ya, kenapa gak bunuh diri di rell saja ya?, tinggal tunggu ketabrak dan gak perlu nyiapain peralatan apa-apa”

Lanjut bagain 2

Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS DESKRIPTIF PONDOK PESANTREN DARUN NUN

KISAH HARU SANG DOKTER

BIOGRAFI PENGARANG KITAB QAMUS AL MUHITH