SEPASANG KEKASIH TUA


Oleh: Nur Sholikhah

Kulihat dua orang itu duduk di dekat pagar pembatas di sebuah tempat makan. Tempat makan ini terletak di kawasan wisata desa dengan hamparan sawah yang luas juga dengan beraneka ragam tanamannya. Aku tak tahu persis apa yang mereka pandang dan apa yang sedang dibicarakan. Aku hanya menatap dari balik punggungnya, sambil  mencuri gambar kedekatan mereka.

Nenek dan kakek, iya. Mereka adalah pasangan yang sudah sama-sama menua. Menua dalam hal usia juga pengalaman tentang asam garam kehidupan. Mereka duduk berdampingan, memandang area persawahan, bergumam, tertawa di sela-sela riuhnya angin tanpa sungkan. Melihat pemandangan itu, imajinasiku memulai pengembaraannya.

Kami adalah sepasang kekasih yang sudah merajut cinta puluhan tahun lamanya. Dari penampakan wajah kami berdua, semua orang pasti sudah tahu usia kami di atas kepala lima. Iya, dia menginjak enam puluh tahun dan aku dua tahun lebih muda darinya. 

Siang ini kami sengaja duduk berdua di tengah hamparan sawah yang kata orang sudah jadi tempat wisata. Oh ya tempat wisata selalu ramai, makanya banyak kutemukan orang-orang dengan wajah baru di sini. Katanya, orang-orang yang akan masuk ke tempat ini harus membayar sejumlah uang. Padahal dulu persawahan ini sepi, orang-orang bebas keluar masuk tanpa butuh diawasi. 

Aku duduk di bagian paling tepi tempat ini, sengaja memilih posisi yang aku bisa bebas melihat pemandangan. Aku mengajaknya duduk berdua, berdampingan. Tak peduli dengan tatapan orang-orang asing yang datang. Tempat ini dulu adalah sawah kami yang sekarang sudah dibeli pak Lurah untuk dibangun tempat wisata ini. Kami menyetujuinya karena kami rasa fisik kami sudah tak mampu lagi merawat sawah dengan segala kerumitannya. 

Kini kami mengenang kembali saat-saat di mana kita masih disibukkan oleh pekerjaan merawat sawah juga anak-anak kami. Setiap hari ia pergi ke sawah, membawa cangkul dan bertopi caping kesukaannya. Sementara aku di rumah merawat anak-anak dan memasakkan makanan untuknya. Anak kami tiga, dua orang laki-laki dan yang terakhir perempuan. 

Ketika mereka bertiga beranjak dewasa dan mulai menempuh pendidikan di luar kota, maka kesibukanku menjadi berkurang. Aku hanya merawat suami dan berbagai macam hewan ternak seperti kucing dan ayam. Kami tinggal berdua di rumah seperti pasangan yang baru menikah. Setiap bulan kami nantikan salah satu dari anak kami pulang, mengetuk pintu lalu memeluknya erat dengan penuh kerinduan. 

Dan saat satu persatu menikah, mereka tidak lagi sering berjumpa. Bisa dihitung setahun berapa kali mereka pulang ke rumah. Kalau tidak pas hari raya ya pas liburan sekolah mereka beramai-ramai pulang ke desa. Selain itu, mereka sibuk dengan pekerjaan dan keluarga yang dimilikinya. 

Dan kami berdua hanya tetap tinggal berdua seperti saat baru menikah. Bedanya ia tak lagi merawat sawah dan aku tak lagi merawat anak dan menimangnya. Kami menghabiskan sisa waktu bersama sambil terus berharap ada salah satu anak yang mau menemani masa tua kami. Maut tak mungkin datang dengan waktu yang bersamaan. Kalau tidak aku dulu yang dipanggil Tuhan ya berarti dia yang akan meninggalkanku di sini kesepian. 

Siang ini, saat matahari tak begitu terik menyinari. Aku ingin ungkapkan semua rasa takutku padanya. Tentang kesepian yang terus terbayang, tentang anak-anak yang tak kunjung pulang. Ia menjawab dengan begitu santainya dan menghadirkan tawa di antara kata-kata. 

"Inilah kehidupan, semua hanya titipan. Anak-anak, keluarga, kita tetap tak boleh berharap banyak. Ujung-ujungnya kita akan sendiri. Boleh jadi kita sekarang masih berdua, tapi nanti salah satu dari kita akan dipanggil lebih dulu. Kita harus terbiasa dan akrab dengan rasa sepi. Kita tak boleh takut karena semua memang begitu adanya."

Aku ingin meneteskan air mata membayangkan percakapan itu benar-benar hadir di telinga. Beruntung angin berhembus lumayan kencang, menyejukkan mata yang tiba-tiba basah. Sepasang kekasih tua itu telah pergi dan kini aku tepat berada di sisi tempat duduknya. Aku berdiri, menatap lamat-lamat area persawahan yang ramai. Tidak hanya ramai oleh tanaman, tapi juga manusia yang berlalu lalang.

"Jangan lama-lama di bawah terik matahari! Nanti sakit kepala lhoh!" Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Kubalas kalimat itu dengan senyuman. Ah, sepasang kekasih tua itu mengingatkanku pada kedua orang tua. Ibu yang ditinggal pergi bapak, dan bapak yang lebih dulu dipanggil Tuhan. 


Jombang, 29 September 202

Pondok Pesantren Darun-Nun Malang 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS DESKRIPTIF PONDOK PESANTREN DARUN NUN

KISAH HARU SANG DOKTER

BIOGRAFI PENGARANG KITAB QAMUS AL MUHITH