DEADLINE, OH!
Oleh: Binti Rohmatin Fahimatul Yusro
"Bagi
aku, semangat ngerjain tugas itu ya deadline"
"Deadline
kapan sih? Masih lama kan? "
"Santai dulu lah, ngerjainnya ntar aja pas deket deadline, bakal ada the power of kepepet kok, pastinya"
One, two, three. Kenal deadline?
Pastinya. Mahasiswa terlalu akrab dengan kata tersebut. Sebuah kata yang bisa
menjadi penyemangat, atau juga sebaliknya. Deadline terkesan sedikit seram.
Kenapa? Karena seperti namanya saja dead(mati) dan line (garis). Jadi, deadline
itu garis kematian? Iya, benar. Tetapi salah. Hehe.
Setelah browsing di internet, ternyata kata 'deadline' sendiri
punya histori. Singkatnya, menurut etimolog, kata 'deadline' pada awalnya
bergantung pada istilah dalam dunia militer yang digunakan di abad 19 awal, tentang
suatu kondisi yang mengenaskan dalam sebuah camp penjara Andersonville di
Georgia, atas pengawasan Wirz.
"Di bagian dalam benteng dan dua puluh kaki dari sana ada
'deadline (batas mati)' yang ditetapkan, di mana tidak ada tahanan yang
diizinkan pergi, siang atau malam, hukumannya adalah ditembak"
Kata deadline pun juga mengacu pada tahanan dalam camp Union yang
berjumlah sekitar 45.000 yang terlantar dalam camp lantaran malnutrisi,
kurangnya air dan pakaian, dan menyebarnya penyakit sehingga menimbulkan
sepertiga dari jumlah tahanan menyerah pada keadaan dan tahanan menjadi
deadline bagi mereka. Jadi, dulu pemakaian istilah deadline
benar-benar sesuai dengan maknanya, bukan merupakan tenggat waktu seperti makna
yang populer di zaman kita.
Kemudian, di era kita, deadline bermakna 'tenggat waktu'. Sudah tidak seseram dulu. Akan tetapi,
deadline masih sedikit lebih seram dibanding
'due date'. Deadline tugas, misalnya. Padahal kita (baca: penulis) biasa diberi tugas beberapa
waktu sebelum deadline, akan tetapi, kebiasaan kebanyakan mahasiswa ialah
menundanya hingga batas waktu yang sangat dekat dan menjadikan. Saat menunda
pun, biasanya mahasiswa mengalami dilema yaitu kebingungan untuk terlebih
dahulu memulai mengerjakan tugas yang mana.
Deadliner seperti kita, sering menjadikan opsi
lembur sebagai pilihan terakhir. Apakah seperti ini baik? Tentu tidak! Jika
kita memaksakan diri untuk ‘begadang’, mungkin sekali, dua, atau tiga tidak
memunculkan indikasi apa-apa. Akan tetapi jika dilakukan secara berkelanjutan, akan
berpengaruh besar bagi kesehatan kita.
Profesi ‘deadliner’ kita ini sebaiknya mulai dikurangi bahkan jika bisa dihilangkan. Kalau pun kita ingin melakukan sesuatu untuk sebuah produktivitas dan memilih waktu malam dengan keheningan yang mungkin bisa membuat kita fokus, boleh-boleh saja asalkan kita terlebih dahulu istirahat sebelumnya barang satu atau dua jam. Jika pun ada ‘the power of kepepet’, hal tersebut memang ada, hanya saja jika kita terus menerus mengandalkan the power of kepepet, yang terjadi ialah dalam mengerjakan suatu hal, kita tidak bisa mengerjakannya secara maksimal. Lantas, sampai kapan terus menerus bekerja setengah-setengah? Mulai sekarang, mari mencoba meneladani Al-Fatih yang bersungguh-sungguh, as strong as we can.
Sumber:
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Komentar
Posting Komentar