Bidadari Tiga Warna

Doc pribadi


Oleh : Hany Zahrah

            Sembilan wanita cantik yang menanti waktu weekend. Bagi mereka weekend adalah hari yang paling tepat untuk me time. Moment inilah yang dilakukan sembilan wanita cantik, sebutan apalagi kalau bukan bidadari. Tujuan mereka ialah Pantai Tiga warna. Salah satu surga tersembunyi di Pulau Jawa. Bidadari itu ialah zahra, lila, nia, yati, ana, vira, nur, hima, dan alfi. 

            Ayam berkokok, mataharipun tersenyum memancarkan sinar menandakan hari sudah pagi, mereka segera bersiap-siap. packing perlengkapan, dan sarapan adalah hal yang wajib dilakukan sebelum bepergian. Memakai ootd yang cantik bak putri kerajaan ialah suatu kewajiban bagi kesembilan bidadari ini.

“Pake baju apa ya?” Zahra yang diam mematung di depan lemari

“Duh nih anak mesti ribet kalo mau keluar” Sahut Lila sambil membantu memilah baju untuk Zahra.

            30 menit berlalu, hanya untuk menentukan dresscode yang akan dipakainya. Zahra adalah gadis kota yang sangat memerhatikan penampilannya, terutama jika ingin pergi ke tempat yang instagramable.

            Bukan bidadari namanya jika keluar istana dengan penampilan seperti gadis biasa. Sembilan bidadari ini sudah siap menunggang kereta kencana. Alfi dan Hima yang memimpin perjalanan kami, tujuh bidadari yang lain mengikuti dibelakangnya.

Kami pikir perjalanan ini akan berjalan mulus, ternyata tidak semudah itu. Ditengah perjalanan kereta kencana paling gagah yang ditunggangi Nia dan Lila mengalami masalah, Ya, ban nya bocor. Kendaraan ramai berlalu lalang namun acuh akan belas kasihan. Gadis yang malang. Berhenti di tempat yang tidak tepat, hingga mereka berdua harus berjalan mendorong kereta kencananya ke bengkel. 

            Zahra yang berada di belakang kereta kencana nia, spontan berhenti dan menolongnya mencarikan bengkel. Namun nihil, mereka harus berjalan lumayan jauh dari lokasi tersebut. 

“Huft.. penat” keluh Lila yang tak biasa berjalan jauh dibawah terik matahari.

            Berpuluh-puluh langkah menelusuri jalan, akhirnya tiba di bengkel. Ana bergegas menghubungi teman-teman yang lain untuk putar balik menemui Nia, Lila, dan Zahra di bengkel.

“Beres” Ucap Bapak Bengkel

            Wajah tegang berubah menjadi senyum manis, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang. Setengah perjalanan terlewati, lagi-lagi kereta kencana nia minta di manja. Ya, ban nya bocor lagi. kali ini kami harus merogoh kocek uang yang lumayan banyak karena harus mengganti ban belakang yang bocor. Menunggu 10 menit bukanlah masalah, hanya saja kantong kami yang meronta-ronta, belum apa-apa sudah keluar uang banyak.

            Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Seharusnya jam segitu kami sudah sampai tujuan, karena beberapa kendala inilah yang membuat kami terlambat sampai lokasi. Pantai tiga warna bukanlah sembarang tempat, pantai konservasi yang dibatasi pengunjung 100 orang/hari. Surga dunia yang hanya bisa dinikmati 2-3 jam/rombongan. 

            Semakin mendekati pantai, jalurnya makin tidak terkontrol, berkelok-kelok, gelap, becek, dan berpasir. Mungkin bagi anak traveller ini hal yang biasa, namun tidak bagi kami. Tangan yang biasa dimanja dipaksa mengendalikan kereta kencana, fokus dan konsentrasi penuh ketika melewati jalan, entah sampai kapan kami keluar dari jalan yang berkelok.

            Belum sampai tujuan lagi-lagi kereta kencana lila dan nia kehausan, kami menepi dan menunggu mereka mencari pom bensin terdekat. Semoga saja ini yang terakhir, biar cepet sampe lokasi dan menikmati keindahan pantai. 2 jam 30 menit menempuh perjalanan entah mengapa langit diselimuti oleh awan hitam, langit pun ikut bersedih.

“Plissss jangan ujan dulu kek”

“Iyaa, belum sampe pantai nihh”

“Istirahat dulu dong, perut gua sakit, kayaknya maaghnya kambuh deh”

“Bawa obat tah?”

“Bawa kok, nih obatnya” (sambil menunjukkan obatnya).

Sambil istirahat meluruskan kaki dan tangan, kami memutuskan untuk makan, mengingat sudah masuk waktu makan siang.

“Hei, disana ada warung nasi, makan dulu yuk gue laper”

“Yokk” (serentak)

            Tidak hanya kereta kencana yang butuh jajan, perut kami juga perlu diisi sesuatu yang bisa mengenyangkan. Nasi misalnya, atau bakso, haha... 

            Menengok ke jendela memastikan cuaca sudah kembali cerah, membayangkan keindahan pantai bak surga dunia.  Telinga yang tak sabar mendengar deburan ombak, melihat lambayan daun kelapa, seolah memanggil kami untuk segera melanjutkan perjalanan. 

“skuy, berangkat”

“gaskeun”

 

Bersambung........

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS DESKRIPTIF PONDOK PESANTREN DARUN NUN

KISAH HARU SANG DOKTER

BIOGRAFI PENGARANG KITAB QAMUS AL MUHITH